Memilih adalah sebuah kondisi
dimana kita harus membuat keputusan dalam hidup untuk menjalani sesuatu dan
menafikan sesuatu yang lain untuk sebuah tujuan yang mestinya dapat
dipertanggung- jawabkan. Bentuk pertanggung-jawaban itu bisa kepada Tuhan Sang
Pencipta, masyarakat ataupun pada sesuatu yang pada akhirnya tidak kita pilih…
Mengapa misalnya kita juga harus
mempertanggung-jawabkan keputusan kita pada yang tak terpilih?
Jawabannya adalah agar yang tak
terpilih merasa bahwa dirinya juga menjadi subjek diantara beberapa pilihan,
dan bukan semata objek yang menjadi tidak penting untuk dipertimbangkan.. pada
kondisi ini dia akan merasa lebih ikhlas menerima keadaan ke-tak terpilihannya
sebagai bagian dari takdir dan bukan karena alasan bahwa dia tidak layak untuk
dipilih…
Karena jujur menjadi tak terpilih
adalah berat, ketika dia berpikir bahwa dia layak untuk dipilih..
Sulit memang ketika kita dihadapkan
pada berbagai pilihan di dalam hidup, meski misalnya kita telah dapat menghitung
untung-rugi, plus-minus, pula ‘akibat’ dari memilihnya kita terhadap sesuatu(seseorang)
yang dengan sendirinya mengorbankan seseorang yang lain…
Kenapa yang tak terpilih juga berhak
untuk ikut diperhatikan, pada penekanan kata ‘akibat’? Alasannya bahwa yang tak terpilih adalah yang
paling dirugikan, sementara kita dan pilihan kita adalah pihak yang paling
diuntungkan, atau setidaknya berada pada zona aman..
Dalam posisi seperti ini idealnya
kita tidak hanya memikirkan diri sendiri, pada saat kita telah sepenuhnya
istiqomah bahwa pilihan kita adalah yang paling benar, tetapi juga dapat
memahami kondisi dan perasaan seseorang yang tidak kita pilih.. Bukankah
ridhaNya adalah tergantung ridhanya orang lain pada kita?
Pun demikian dengan cinta, walau
semestinya cinta tidak dapat ditempatkan sebagai sebuah pilihan..
Mengapa cinta tidak dapat menjadi
pilihan? Penyebabnya adalah bahwa cinta itu kodrati, dia akan ada meski kita
tidak memilih, dan cinta tidak mengharuskan kita untuk memilih..dia akan terus
ada hingga kematian merenggut kita..
Sementara persoalan misalnya kita
mengorbankan seseorang yang kita cintai demi cinta kita yang mungkin lebih
besar pada orang yang akhirnya kita pilih, dengan alasan bahwa cinta harus
memilih.. sepertinya hanya mencoba memaksakan sebuah pembenaran yang lebih
berpihak kepada kita… dan tak pernah kita berpikir bagaimana kondisi dan
perasaan seseorang yang tidak kita pilih..
Jika demikian adanya.. sungguh
tragis apa yang di alami oleh ‘yang tak terpilih’…. Mungkin saja perasaannya
terkoyak, bukan hanya karena dia tidak terpilih, tapi juga haknya mencintai dan
dicintai digerus oleh pembenaran bahwa cinta harus memilih… padahal mungkin dia
tidak menuntut untuk dipilih… juga tidak meminta untuk diprioritaskan… dia
hanya menginginkan untuk dicintai dan jangan mencegahnya untuk mencintai…
karena sekali lagi bahwa cinta itu kodrati…
Akan jauh lebih adil mungkin
apabila kita juga memikirkan perasaannya yang tak terpilih, bukan melalui
pendekatan logikal, tapi lebih kepada pendekatan emosioanal.. karena yang tak
terpilih akan cenderung men-dramakan perasannya ketimbang berusaha rasional dan
realistis.. sebab dia akan sulit menerima apapun sintesa pembenaran dari
ketidak-terpilihannya..
Memikirkan perasaannya adalah
penting, karena sadar atau tidak kita berandil besar atas kesakitan yang
dialaminya…. Kecuali mungkin… kita tidak pernah mencintainya, dan hanya
menempatkannya sebagai bagian tak penting dari episode perjalanan hidup kita..
No comments:
Post a Comment