Pages

Tuesday, February 7, 2012

dilenganku


Dilenganku ini dahulu kau sandarkan letihmu…
Dilenganku ini pernah kau benamkan penatmu
Dilenganku ini sering kau baringkan getirmu…
Dilenganku ini tak jarang kau letakkan perihmu…
Dilenganku ini banyak air matamu tumpah…
Dilenganku ini kulihat senyum bahagiamu..
Dan dilenganku ini kupandang tidur pulasmu…

Harusnya lengan ini menjadi rumahmu, yang dapat setiap saat menjadi tempatmu kembali, dikala lelah menggelayut di raga dan jiwamu..
Mestinya lengan ini selalu mampu memberi kesejukan disaat pengap mendera hati dan pikiranmu..
Inginnya lengan ini bisa mendekapmu disepanjang waktu..
Karena lengan ini milikmu..

Tapi kini lengan ini tak bertuan, ditinggal pemiliknya..
merana dalam kesendirian..
Sepi terkulai, melunglai dalam nestapa..

Thursday, January 19, 2012

hilang


“hilang” itu seperti “mati”, bahkan ada yang mengasosiasikan keduanya sebagai kata yang bisa bermakna sama, ketika hilang misalnya diidentikan dengan ke-takbersisaan atau habis atau lenyap atau pergi atau tak ada lagi..
Mungkin sedikit yang membedakan hilang dengan mati adalah bahwa, mati tak akan kembali lagi, setidaknya di dunia.. tentunya dengan tidak berusaha mengkerdilkan konsep reinkarnasi oleh beberapa kepercayaan. Sementara hilang mungkin dapat ditemukan lagi, walaupun misalnya apakah kondisinya masih serupa seperti sebelum “hilang” atau telah mengalami perubahan..
Tapi bagiku sama saja, untuk-ku hilang itu mati. Tidak! Disini tidak berusaha untuk berkonfrontasi dengan takdir Illahi, karena Illahi senantiasa punya kuasa untuk mengembalikan atau tidak, akan tetapi lebih kepada penerimaan terhadap mungkin “takdir” yang lain, yaitu takdir untuk selamanya sendiri..
























curhat tentang menakar cinta


hari ini 20 menit yang lalu, kisah cinta saya berakhir dengan tanpa adanya kata putus, dia hanya mengatakan bahwa “semoga kamu mendapatkan yang terbaik”. Bagi saya itu sudah merupakan sebuah penegasan bahwa dia menginginkan berakhirnya hubungan ini. Sebenarnya kata “putus” memang bukanlah sebuah kata sakti yang mengindikasikan bahwa telah berakhirnya hubungan cinta yang pernah dibangun oleh dua orang yang pernah saling mencintai. Kenapa saya mengatakan “pernah” karena bisa saja ketika seseorang mengujarkan pernyataan seperti yang ter-italic di atas, sudah tidak tersisa sedikit cinta lagi dihatinya. Bukankah cinta harus diperjuangkan? Seperti apapun misalnya kondisinya. Tapi sudahlah disini saya tidak akan berbagi soal apakah dia masih mencintai saya atau tidak. Sesungguhnya yang ingin saya tekankan disini adalah kata “putus” tadi. Kata-kata itu terasa begitu menyesakkan dada, diucapkan atau tidak kata itu terasa seperti menjadi bara bagi seseorang yang masih mencintai kekasihnya sepenuh hati seperti yang saya rasakan saat ini. Cinta yang begitu susah payah saya bangun selama berbulan-bulan akhirnya berakhir hanya dengan sebuah alasan yang tidak cukup rasional untuk ukuran peradaban hari ini. Kadar dari cinta itulah yang menjadi persoalannya…
            Elegi ini berawal dari ketakutan-ketakutan kekasih saya(dia akan tetap menjadi kekasih di dalam hati saya) mengenai kadar cinta yang saya miliki terhadapnya. Seringkali dia mempertanyakan posisinya dihati saya, pun seberapa besar saya mencintainya. Alasan ini coba dihadirkan olehnya demi menggugat kapasitas cinta yang saya miliki. Dia merasa bahwa selama ini cinta yang saya berikan tidaklah cukup mewakilkan arti cinta yang sebenarnya yang ada di dalam imajinasinya. Ketika kita akan selalu ada untuk orang yang kita cintai dan ketika berkorban menjadi satu-satunya parameter untuk meretas takaran cinta kita….
Tentunya dalam hal ini dia tidak sepenuhnya salah apabila memang kondisinya memungkinkan, walaupun saya pikir ini tidak seluruhnya logis ketika berkorban menjadi acuan di dalam menguraikan arti cinta yang sebenarnya. Tetapi ini situasinya berbeda, kita menjalin cinta jarak jauh. Bagaimana mungkin saya akan selalu ada untuknya sementara kita dipisahkan oleh jarak yang jauhnya ribuan kilometer. Pastinya jika ingin sepenuhnya adil, pula saya bisa memprotes kepadanya mengapa bukan dia yang harus selalu ada untuk saya. Bukankah konsep bekorban tidak hanya menjadi milik salah satu pihak? Tetapi tidak, disini saya bukan sedang mencoba mencari pembenaran-pembenaran, dan saya pikir itu juga merupakan wujud dari berkorbannya saya, saat tidak pernah mempertanyakan hal ini kepadanya.
            Ketika saya menulis curhat ini, pikiran saya dijejali oleh berbagai pertanyaan-pertanyaan yang terasa tidak mampu saya pecahkan sendiri. Apa arti dari cinta yang sebenarnya (dan bukan definisi cinta dari pujangga amatir dan karbitan)?, Bagaimanakah menakar cinta? dan Seperti apa sesungguhnya berkorban untuk cinta?. Tiga pertanyaan ini cukup mengusik saya untuk lebih bisa memahami hakikat dari cinta yang sesungguhnya, karena saya merasa bahwa selama ini saya telah melakukan yang terbaik untuk cinta dan sekiranya itu tidak cukup bagi sebahagian orang, sekali lagi saya bertanya Alasannya apa? Serta, Adakah sesuatu yang belum saya lakukan untuk cinta?
            Saya sangat mencintainya, saya tau pasti itu, saya mencintainya dengan cara saya sendiri. Saya tidak perlu mengutip karya sastra hanya untuk sekedar mengetahui bagaimana seharusnya mencintai seseorang, juga saya tidak butuh mencontohi formula orang-orang sekitar tentang bagaimana cara mencintai mereka. Saya memiliki cara sendiri untuk mencintai seseorang.  Tidakkah setiap orang berbeda? Kenapa dia tidak juga bisa mengerti soal itu? mengapa dia selalu menuntut lebih, sementara yang dapat saya berikan hanya itu…
Wah… pertanyaan lagi.. Apakah memang cinta selalu menghadirkan pertanyaan-pertanyaan? Bukankah “cinta” itu sendiri telah menjadi jawaban atas pertanyaan, mengapa kita harus mencintai yang jawabannya karena ada “cinta” di hati kita, yang mesti kita bagi untuk orang lain. Sedikit hipotesa saya tentang hal ini bahwa cinta yang dimiliki oleh setiap orang berupa penggalan. Penggalan ini berusaha menyempurnakan bentuknya dengan mencari penggalan lainnya yang paling tepat dan link untuknya agar dapat berbentuk utuh sebagaimana mestinya..

Hufft…. kadang capek mikir euy,,,,tapi sudahlah ini memang skenario hidup yg harus saya jalani…saya ga harus protes, kalaupun bisa protes…. Mau protes kemana? Kepada sutradara alam semesta? Rasanya ga mungkin, itu berarti saya sedang berusaha menggugat keterbatasan saya sebagai manusia yang dhaif…

Satu hal yang saya tahu pasti, bahwa saya harus melanjutkan hidup saya dengan skenario yang saya sendiri tidak tahu bagaimana alurnya nanti…tak akan pernah ada yang tahu apa yang akan terjadi besok, bahkan sedetik setelah ini…. Besok akan selamanya menjadi ghoib….satu harapan saya bahwa esok akan berpihak pada saya…amien

cinta tak pernah salah

  • terkadang realitas kehidupan memperhadapkan kita pada pertanyaan, Mengapa kita bisa jatuh cinta? Jatuh cinta terhadap orang yang spesial yang saya maksudkan di sini..dan Apakah harus?... bila saja jawabannya bahwa dengan mencintai kita akan mampu menyempurnakan keimanan dan hidup kita seperti sunnahnya Rasul, ketika kita diciptakan untuk saling berbagi sehingga bisa menyeimbangkan hidup kita… dengan demikian mencintai mungkin menjadi suatu keharusan…

    apakah sintesa ini tidak terlalu prematur bila saja konsep berbagi menjadi satu-satunya alasan mengapa orang senantiasa mencari kesempurnaan dan keseimbangan hidup melalui media cinta… bukankah misalnya kita dapat berbagi dengan orang lain meski tanpa ada cinta di hati kita? Tidakkah memang fitrah yang telah kita miliki sejak lahir, ada yang namanya empati?... sesuatu yang bisa dinapak tilas sebagai identitas manusia di dalam kehidupan sosialnya..

    jikalau demikian jawabannya, sebenarnya dengan tanpa cinta pun kita bisa berbagi, bila alasan mencintai itu hanya untuk berbagi..

    padahal kita tahu bersama bahwa cinta tidak hanya dapat menawarkan sesuatu yang indah kepada orang-orang yang tengah mereguknya, tetapi juga keniscayaan bisa memberikan kesakitan yang mendalam, perpisahan contohnya, ditinggalkan juga, pula patah hati… dan masih banyak lagi efek buruk dari konsekuensi mencinta..

    walaupun sebagian besar misalnya orang-orang lebih memilih untuk menikmati cinta ketimbang memikirkan resiko yang mungkin saja ditimbulkan olehnya..

    ataukah di dalam benak mereka bahwa berbagai resiko yang bisa diakibatkan oleh cinta juga merupakan bagian dari indahnya cinta.. bisa saja!, atau dapat pula itu sebatas pembenaran bagi orang-orang yang terlanjur menjadi penikmat sekte cinta..

    tidak salah jika ada yang berpikir seperti itu karena cinta sendiri tak pernah salah.. cinta kadang hadir tiba-tiba, tidak pernah kita duga dan tanpa bisa kita menolaknya… dia dapat saja hadir, kapan saja, dimana saja, dan kepada siapa saja…cinta tak mengenal strata, pun tidak mempertimbangkan latar belakang sosial dan pendidikan, juga cinta tidak melihat usia..apalagi JARAK…

    bila begitu, Apakah konsep mengenai ‘cinta itu buta’ adalah sepenuhnya benar? Jawaban dari pertanyaan ini tentunya masih sangat friksional karena bisa saja berefek bias pada penganut ideologi ini..  hal ini disebabkan aspek pembangun cinta tidak belaka soal emosional.. tapi ada unsur penting lainnya yaitu rasionalitas..unsur ini semestinya menjadi penyeimbang di dalam menguraikan ‘cinta’ yang sebenarnya, karena perasaan cinta sendiri tidak bisa menjadi ukuran, atau nisbi semata..dia bisa berkembang dan luntur kapan saja… bisa karena alasan ruang juga waktu… untuk itu dibutuhkan sebuah formula yang bisa menetralisirnya yaitu unsur rasionalitas tadi…

    sekali lagi tidak ada yang salah tentang cinta...tak boleh ada satu unsur pun yang dapat menyalahkan cinta, ini bukanlah soal tujuan pencapaian kesempurnaan hidup serta alasan berbagi… tetapi ini soal perasaan.. soal naluriah…perasaan tidak pernah dirancang untuk bertumbuh dan meredup...dia tetap akan ada meski dipaksa untuk menyangkalnya..karena ketika mencoba meminggirkannya, sama halnya kita tengah meragukan adanya kehidupan di bumi..

    demi alasan itu pula jangan pernah melarang bila ada yang jatuh cinta terhadap kita, sama halnya ketika kita tidak ingin dicegah untuk mencintai seseorang… bukankah setiap orang berhak untuk mencintai?... karena dia(subjek) tidak pernah dipaksa dan terpaksa untuk mencintai… perasaan cinta itu ada karena memang seharusnya ada…

    cinta tak akan pernah salah…

tak bisa menjadi abadi


dari  tak ada….kemudian ada……. seterusnya menghilang… terpupus dilenyapkan oleh sapuan waktu..

seperti itulah yang terjadi dengan kehidupan... manusia, hewan, tumbuhan, harta, tahta…. bisa tiba-tiba membenam dalam titah Sang Al-Baqiil.. pemilik kehidupan sejati di alam fana dan baqa…semua akan sirna sekejap, bila diinginkan olehNya….. tak akan ada satupun kekuatan yang mampu menghalaunya…karena takdir Dia yang mencipta….

sementara, Bagaimanakah dengan cinta? Apakah cinta bisa bernasib serupa dengan unsur-unsur material lainnya? Bukankah cinta tidak diciptakan dari zat yang diproyeksikan untuk tumbuh dan berkembang? Tidakah cinta tercipta bersamaan dengan hadirnya HATI yang merupakan bagian organ tubuh manusia? … yang bisa diretas sebagai sumbernya rasa cinta….

ketika perasaan bahagiah dan terluka hatilah yang berperan penting di dalam menguraikannya…

jika saja cinta adalah produk bawaan hati sewaktu manusia diciptakan, sendirinya cinta pun akan berakhir ketika kehidupan manusia berakhir…..

tetapi… Bagaimana dengan dikursus bahwa ‘cinta sejati tak akan pernah mati’? Tidakah ini terlihat resisten dengan konsepsi bahwa semua akan berakhir pada masanya dalam cengkeram takdir Illahi…

bila cinta bisa berakhir … Dimanakah letak dari hakekat cinta sejati? Bukankah kesejatian itu terukur dari keabadian? ,,,,

dengan begitu ketika cinta tak mampu menjadi abadi maka tidak akan mungkin ada cinta sejati…karena seyogianya kesejatian itu tak akan lekang termakan waktu….sementara cinta bisa pergi, manakala dia harus pergi….. bahkan terkadang tak meninggalkan bekas sedikitpun…

…..bilapun cinta tak mampu menjadi abadi, mengapa misalnya kita kadangkala sampai harus jatuh bangun memperjuangkannya… toh suatu saat akan pergi juga….dan mungkin saja kepergiannya tak berjejak sedikitpun ketika kehidupan berakhir….
atau jika bertemu dengan cinta yang lain….pula cinta yang baru…pun seterusnya ketika cinta masih bisa menjadi candu bagi orang-orang yang memburunya…

dan jika alasannya dengan terus memelihara rasa cinta,  sama halnya dengan memelihara kehidupan sebagai fitrahnya kita sebagai manusia….. jawabannya adalah sungguh keliru… karena kehidupan bisa saja ada, tanpa hadirnya cinta disana…sebab dengan mengandalkan syahwat pun rasanya kehidupan bisa akan terus berlanjut….

dengan demikian cinta semestinya bukan menjadi musabab, kenapa kita ada, untuk apa kita hidup, dan mengapa kita harus melanjutkan hidup kita…. sebab cinta baru hadir setelah terlebih dahulu kita ada….. harusnya hidup pun bukan untuk cinta… dan sepertinya sangat naif bila kita harus mati karena cinta….  

mungkin akan lebih baik bagi kita apabila menikmati cinta seadanya dalam tataran yang terukur…. dan rasanya kita tidak perlu sampai harus sedu sedan memperjuangkannya…. ini bukan persoalan bahwa kita tidak memperjuangkan sesuatu yang seharusnya kita dapatkan…. bila itu alasannya… sungguh kita telah menjadi egois bagi diri kita sendiri...juga kepada orang lain, karena bisa saja dia bukan takdir kita…. dan mungkin pula kita seharusnya menjadi takdir untuk orang lain….Bukankah itu sudah menjadi kehendakNya?....

satu lagi alasannya, kenapa kita tidak harus memperjuangkan cinta hingga harus terkapar…karena sesungguhnya dia fana……….dan tak bisa menjadi abadi….




yang tak terpilih


Memilih adalah sebuah kondisi dimana kita harus membuat keputusan dalam hidup untuk menjalani sesuatu dan menafikan sesuatu yang lain untuk sebuah tujuan yang mestinya dapat dipertanggung- jawabkan. Bentuk pertanggung-jawaban itu bisa kepada Tuhan Sang Pencipta, masyarakat ataupun pada sesuatu yang pada akhirnya tidak kita pilih…
Mengapa misalnya kita juga harus mempertanggung-jawabkan keputusan kita pada yang tak terpilih?
Jawabannya adalah agar yang tak terpilih merasa bahwa dirinya juga menjadi subjek diantara beberapa pilihan, dan bukan semata objek yang menjadi tidak penting untuk dipertimbangkan.. pada kondisi ini dia akan merasa lebih ikhlas menerima keadaan ke-tak terpilihannya sebagai bagian dari takdir dan bukan karena alasan bahwa dia tidak layak untuk dipilih…
Karena jujur menjadi tak terpilih adalah berat, ketika dia berpikir bahwa dia layak untuk dipilih..

Sulit memang ketika kita dihadapkan pada berbagai pilihan di dalam hidup, meski misalnya kita telah dapat menghitung untung-rugi, plus-minus, pula ‘akibat’ dari memilihnya kita terhadap sesuatu(seseorang) yang dengan sendirinya mengorbankan seseorang yang lain…
Kenapa yang tak terpilih juga berhak untuk ikut diperhatikan, pada penekanan kata ‘akibat’?  Alasannya bahwa yang tak terpilih adalah yang paling dirugikan, sementara kita dan pilihan kita adalah pihak yang paling diuntungkan, atau setidaknya berada pada zona aman..   
Dalam posisi seperti ini idealnya kita tidak hanya memikirkan diri sendiri, pada saat kita telah sepenuhnya istiqomah bahwa pilihan kita adalah yang paling benar, tetapi juga dapat memahami kondisi dan perasaan seseorang yang tidak kita pilih.. Bukankah ridhaNya adalah tergantung ridhanya orang lain pada kita?
Pun demikian dengan cinta, walau semestinya cinta tidak dapat ditempatkan sebagai sebuah pilihan..
Mengapa cinta tidak dapat menjadi pilihan? Penyebabnya adalah bahwa cinta itu kodrati, dia akan ada meski kita tidak memilih, dan cinta tidak mengharuskan kita untuk memilih..dia akan terus ada hingga kematian merenggut kita..
Sementara persoalan misalnya kita mengorbankan seseorang yang kita cintai demi cinta kita yang mungkin lebih besar pada orang yang akhirnya kita pilih, dengan alasan bahwa cinta harus memilih.. sepertinya hanya mencoba memaksakan sebuah pembenaran yang lebih berpihak kepada kita… dan tak pernah kita berpikir bagaimana kondisi dan perasaan seseorang yang tidak kita pilih..
Jika demikian adanya.. sungguh tragis apa yang di alami oleh ‘yang tak terpilih’…. Mungkin saja perasaannya terkoyak, bukan hanya karena dia tidak terpilih, tapi juga haknya mencintai dan dicintai digerus oleh pembenaran bahwa cinta harus memilih… padahal mungkin dia tidak menuntut untuk dipilih… juga tidak meminta untuk diprioritaskan… dia hanya menginginkan untuk dicintai dan jangan mencegahnya untuk mencintai… karena sekali lagi bahwa cinta itu kodrati…
Akan jauh lebih adil mungkin apabila kita juga memikirkan perasaannya yang tak terpilih, bukan melalui pendekatan logikal, tapi lebih kepada pendekatan emosioanal.. karena yang tak terpilih akan cenderung men-dramakan perasannya ketimbang berusaha rasional dan realistis.. sebab dia akan sulit menerima apapun sintesa pembenaran dari ketidak-terpilihannya..
Memikirkan perasaannya adalah penting, karena sadar atau tidak kita berandil besar atas kesakitan yang dialaminya…. Kecuali mungkin… kita tidak pernah mencintainya, dan hanya menempatkannya sebagai bagian tak penting dari episode perjalanan hidup kita..

cinta (bukan cinta)


Cinta itu tulus,
Cinta itu berbagi,
Cinta itu mengerti,
Cinta itu memahami,
Cinta itu berkorban,
Cinta itu tak bersyarat, dan
Cinta itu ikhlas.

Cinta menjadi subjek disini, bukan alat ataupun objek.
Sebagai layaknya subjek, cinta berfungsi mengatur… mengelola jalinan emosi dan perasaan dalam diri manusia yang membentuk satu kesatuan harapan yang kemudian setelahnya akan di-eksekusi oleh otak.
Pun cinta dapat bertindak sebagai pelaku; pelaku tulus, pelaku berbagi, pelaku mengerti, pelaku memahami, pelaku berkorban, pelaku tak bersyarat, serta pelaku ikhlas.
Pada konsep ‘pelaku’ beserta bagian-bagian yang tercakup didalamnya, terlihat jelas bahwa cinta itu ‘memberi’ dan bukan diberi.
Diawali dengan pelaku tulus dan berakhir sebagai pelaku ikhlas, ‘cinta’ jelas mengambil posisi ‘tak berpamrih’.
Bahkan semua unsur-unsur yang terkait di dalamnya memiliki makna yang sama, hanya saja tingkatannya berbeda, bisa berdasarkaan ‘waktu’ juga ‘kesungguhan’.
Mengapa kategorisasi ‘pelaku’ tersebut mesti diurut? Jawabannya karena kualitas cinta terukur disitu. Masing-masing kelas punya ‘nilai’ tersendiri… ada yang hanya pada tataran tulus atau berbagi saja, ada yang mengerti dan memahami, pula ada yang berkorban dan tak bersyarat, bahkan ada yang dapat mencapai kategori ‘ikhlas’.
Jadi,  misalnya ada yang mengklaim bahwa dia ‘mencintai’ sementara pemaknaan ‘cinta’ yang dibangun olehnya bahkan tidak berdasar atas satu atau beberapa unsur ‘terlaku’ di atas, itu namanya bukan cinta.
Karena sekali lagi cinta itu memberi, tidak mengklaim ‘memberi’ tapi benar-benar memberi… cinta itu tidak mengenal dititipkan, dipinjamkan apalagi digadaikan, tapi diberi… cinta itu gift dari Allah untuk kita, dengan demikian mestinya cinta juga bisa menjadi gift untuk orang lain..