“hilang” itu seperti “mati”,
bahkan ada yang mengasosiasikan keduanya sebagai kata yang bisa bermakna sama,
ketika hilang misalnya diidentikan dengan ke-takbersisaan atau habis atau
lenyap atau pergi atau tak ada lagi..
Mungkin sedikit yang membedakan
hilang dengan mati adalah bahwa, mati tak akan kembali lagi, setidaknya di
dunia.. tentunya dengan tidak berusaha mengkerdilkan konsep reinkarnasi oleh beberapa
kepercayaan. Sementara hilang mungkin dapat ditemukan lagi, walaupun misalnya
apakah kondisinya masih serupa seperti sebelum “hilang” atau telah mengalami
perubahan..
Tapi bagiku sama saja, untuk-ku
hilang itu mati. Tidak! Disini tidak berusaha untuk berkonfrontasi dengan
takdir Illahi, karena Illahi senantiasa punya kuasa untuk mengembalikan atau
tidak, akan tetapi lebih kepada penerimaan terhadap mungkin “takdir” yang lain,
yaitu takdir untuk selamanya sendiri..
hari ini 20 menit yang lalu,
kisah cinta saya berakhir dengan tanpa adanya kata putus, dia hanya mengatakan
bahwa “semoga kamu mendapatkan yang
terbaik”. Bagi saya itu sudah merupakan sebuah penegasan bahwa dia
menginginkan berakhirnya hubungan ini. Sebenarnya kata “putus” memang bukanlah
sebuah kata sakti yang mengindikasikan bahwa telah berakhirnya hubungan cinta
yang pernah dibangun oleh dua orang yang pernah saling mencintai. Kenapa saya
mengatakan “pernah” karena bisa saja ketika seseorang mengujarkan pernyataan
seperti yang ter-italic di atas, sudah tidak tersisa sedikit cinta lagi
dihatinya. Bukankah cinta harus diperjuangkan? Seperti apapun misalnya
kondisinya. Tapi sudahlah disini saya tidak akan berbagi soal apakah dia masih
mencintai saya atau tidak. Sesungguhnya yang ingin saya tekankan disini adalah
kata “putus” tadi. Kata-kata itu terasa begitu menyesakkan dada, diucapkan atau
tidak kata itu terasa seperti menjadi bara bagi seseorang yang masih mencintai
kekasihnya sepenuh hati seperti yang saya rasakan saat ini. Cinta yang begitu
susah payah saya bangun selama berbulan-bulan akhirnya berakhir hanya dengan
sebuah alasan yang tidak cukup rasional untuk ukuran peradaban hari ini. Kadar
dari cinta itulah yang menjadi persoalannya…
Elegi
ini berawal dari ketakutan-ketakutan kekasih saya(dia akan tetap menjadi
kekasih di dalam hati saya) mengenai kadar cinta yang saya miliki terhadapnya.
Seringkali dia mempertanyakan posisinya dihati saya, pun seberapa besar saya
mencintainya. Alasan ini coba dihadirkan olehnya demi menggugat kapasitas cinta
yang saya miliki. Dia merasa bahwa selama ini cinta yang saya berikan tidaklah
cukup mewakilkan arti cinta yang sebenarnya yang ada di dalam imajinasinya.
Ketika kita akan selalu ada untuk orang yang kita cintai dan ketika berkorban
menjadi satu-satunya parameter untuk meretas takaran cinta kita….
Tentunya dalam hal ini dia tidak
sepenuhnya salah apabila memang kondisinya memungkinkan, walaupun saya pikir
ini tidak seluruhnya logis ketika berkorban menjadi acuan di dalam menguraikan
arti cinta yang sebenarnya. Tetapi ini situasinya berbeda, kita menjalin cinta
jarak jauh. Bagaimana mungkin saya akan selalu ada untuknya sementara kita
dipisahkan oleh jarak yang jauhnya ribuan kilometer. Pastinya jika ingin
sepenuhnya adil, pula saya bisa memprotes kepadanya mengapa bukan dia yang
harus selalu ada untuk saya. Bukankah konsep bekorban tidak hanya menjadi milik
salah satu pihak? Tetapi tidak, disini saya bukan sedang mencoba mencari
pembenaran-pembenaran, dan saya pikir itu juga merupakan wujud dari
berkorbannya saya, saat tidak pernah mempertanyakan hal ini kepadanya.
Ketika
saya menulis curhat ini, pikiran saya dijejali oleh berbagai
pertanyaan-pertanyaan yang terasa tidak mampu saya pecahkan sendiri. Apa arti
dari cinta yang sebenarnya (dan bukan definisi cinta dari pujangga amatir dan
karbitan)?, Bagaimanakah menakar cinta? dan Seperti apa sesungguhnya berkorban
untuk cinta?. Tiga pertanyaan ini cukup mengusik saya untuk lebih bisa memahami
hakikat dari cinta yang sesungguhnya, karena saya merasa bahwa selama ini saya
telah melakukan yang terbaik untuk cinta dan sekiranya itu tidak cukup bagi
sebahagian orang, sekali lagi saya bertanya Alasannya apa? Serta, Adakah
sesuatu yang belum saya lakukan untuk cinta?
Saya sangat mencintainya, saya tau pasti
itu, saya mencintainya dengan cara saya sendiri. Saya tidak perlu mengutip
karya sastra hanya untuk sekedar mengetahui bagaimana seharusnya mencintai
seseorang, juga saya tidak butuh mencontohi formula orang-orang sekitar tentang
bagaimana cara mencintai mereka. Saya memiliki cara sendiri untuk mencintai
seseorang. Tidakkah setiap orang
berbeda? Kenapa dia tidak juga bisa mengerti soal itu? mengapa dia selalu
menuntut lebih, sementara yang dapat saya berikan hanya itu…
Wah… pertanyaan lagi.. Apakah memang cinta selalu menghadirkan pertanyaan-pertanyaan?
Bukankah “cinta” itu sendiri telah menjadi jawaban atas pertanyaan, mengapa
kita harus mencintai yang jawabannya karena ada “cinta” di hati kita, yang
mesti kita bagi untuk orang lain. Sedikit hipotesa saya tentang hal ini bahwa
cinta yang dimiliki oleh setiap orang berupa penggalan. Penggalan ini berusaha
menyempurnakan bentuknya dengan mencari penggalan lainnya yang paling tepat dan
link untuknya agar dapat berbentuk utuh sebagaimana mestinya..
Hufft…. kadang capek mikir euy,,,,tapi sudahlah ini memang skenario hidup
yg harus saya jalani…saya ga harus protes, kalaupun bisa protes…. Mau protes
kemana? Kepada sutradara alam semesta? Rasanya ga mungkin, itu berarti saya
sedang berusaha menggugat keterbatasan saya sebagai manusia yang dhaif…
Satu hal yang saya tahu pasti, bahwa saya harus melanjutkan hidup saya
dengan skenario yang saya sendiri tidak tahu bagaimana alurnya nanti…tak akan
pernah ada yang tahu apa yang akan terjadi besok, bahkan sedetik setelah ini….
Besok akan selamanya menjadi ghoib….satu harapan saya bahwa esok akan berpihak
pada saya…amien
terkadang realitas kehidupan memperhadapkan kita pada
pertanyaan, Mengapa kita bisa jatuh cinta? Jatuh cinta terhadap orang yang
spesial yang saya maksudkan di sini..dan Apakah harus?... bila saja jawabannya
bahwa dengan mencintai kita akan mampu menyempurnakan keimanan dan hidup kita
seperti sunnahnya Rasul, ketika kita diciptakan untuk saling berbagi sehingga
bisa menyeimbangkan hidup kita… dengan demikian mencintai mungkin menjadi suatu
keharusan…
apakah sintesa ini tidak terlalu prematur bila saja konsep
berbagi menjadi satu-satunya alasan mengapa orang senantiasa mencari
kesempurnaan dan keseimbangan hidup melalui media cinta… bukankah misalnya kita
dapat berbagi dengan orang lain meski tanpa ada cinta di hati kita? Tidakkah memang
fitrah yang telah kita miliki sejak lahir, ada yang namanya empati?... sesuatu
yang bisa dinapak tilas sebagai identitas manusia di dalam kehidupan
sosialnya..
jikalau demikian jawabannya, sebenarnya dengan tanpa cinta
pun kita bisa berbagi, bila alasan mencintai itu hanya untuk berbagi..
padahal kita tahu bersama bahwa cinta tidak hanya dapat menawarkan
sesuatu yang indah kepada orang-orang yang tengah mereguknya, tetapi juga
keniscayaan bisa memberikan kesakitan yang mendalam, perpisahan contohnya,
ditinggalkan juga, pula patah hati… dan masih banyak lagi efek buruk dari
konsekuensi mencinta..
walaupun sebagian besar misalnya orang-orang lebih memilih
untuk menikmati cinta ketimbang memikirkan resiko yang mungkin saja ditimbulkan
olehnya..
ataukah di dalam benak mereka bahwa berbagai resiko yang
bisa diakibatkan oleh cinta juga merupakan bagian dari indahnya cinta.. bisa
saja!, atau dapat pula itu sebatas pembenaran bagi orang-orang yang terlanjur
menjadi penikmat sekte cinta..
tidak salah jika ada yang berpikir seperti itu karena cinta
sendiri tak pernah salah.. cinta kadang hadir tiba-tiba, tidak pernah kita duga
dan tanpa bisa kita menolaknya… dia dapat saja hadir, kapan saja, dimana saja,
dan kepada siapa saja…cinta tak mengenal strata, pun tidak mempertimbangkan latar
belakang sosial dan pendidikan, juga cinta tidak melihat usia..apalagi JARAK…
bila begitu, Apakah konsep mengenai ‘cinta itu buta’ adalah
sepenuhnya benar? Jawaban dari pertanyaan ini tentunya masih sangat friksional
karena bisa saja berefek bias pada penganut ideologi ini.. hal
ini disebabkan aspek pembangun cinta tidak belaka soal emosional.. tapi ada
unsur penting lainnya yaitu rasionalitas..unsur ini semestinya menjadi
penyeimbang di dalam menguraikan ‘cinta’ yang sebenarnya, karena perasaan cinta
sendiri tidak bisa menjadi ukuran, atau nisbi semata..dia bisa berkembang dan
luntur kapan saja… bisa karena alasan ruang juga waktu… untuk itu dibutuhkan
sebuah formula yang bisa menetralisirnya yaitu unsur rasionalitas tadi…
sekali lagi tidak
ada yang salah tentang cinta...tak boleh ada satu unsur pun yang dapat
menyalahkan cinta, ini bukanlah soal tujuan pencapaian kesempurnaan hidup serta
alasan berbagi… tetapi ini soal perasaan.. soal naluriah…perasaan tidak pernah
dirancang untuk bertumbuh dan meredup...dia tetap akan ada meski dipaksa untuk
menyangkalnya..karena ketika mencoba meminggirkannya, sama halnya kita tengah
meragukan adanya kehidupan di bumi..
demi alasan itu
pula jangan pernah melarang bila ada yang jatuh cinta terhadap kita, sama
halnya ketika kita tidak ingin dicegah untuk mencintai seseorang… bukankah
setiap orang berhak untuk mencintai?... karena dia(subjek) tidak pernah dipaksa
dan terpaksa untuk mencintai… perasaan cinta itu ada karena memang seharusnya
ada…
daritak ada….kemudian ada……. seterusnya menghilang…
terpupus dilenyapkan oleh sapuan waktu..
seperti itulah yang terjadi
dengan kehidupan... manusia, hewan, tumbuhan, harta, tahta…. bisa tiba-tiba
membenam dalam titah Sang Al-Baqiil.. pemilik kehidupan sejati di alam fana dan
baqa…semua akan sirna sekejap, bila diinginkan olehNya….. tak akan ada satupun
kekuatan yang mampu menghalaunya…karena takdir Dia yang mencipta….
sementara, Bagaimanakah dengan
cinta? Apakah cinta bisa bernasib serupa dengan unsur-unsur material lainnya?
Bukankah cinta tidak diciptakan dari zat yang diproyeksikan untuk tumbuh dan
berkembang? Tidakah cinta tercipta bersamaan dengan hadirnya HATI yang
merupakan bagian organ tubuh manusia? … yang bisa diretas sebagai sumbernya
rasa cinta….
ketika perasaan bahagiah dan
terluka hatilah yang berperan penting di dalam menguraikannya…
jika saja cinta adalah produk
bawaan hati sewaktu manusia diciptakan, sendirinya cinta pun akan berakhir
ketika kehidupan manusia berakhir…..
tetapi… Bagaimana dengan dikursus
bahwa ‘cinta sejati tak akan pernah mati’? Tidakah ini terlihat resisten dengan
konsepsi bahwa semua akan berakhir pada masanya dalam cengkeram takdir Illahi…
bila cinta bisa berakhir …
Dimanakah letak dari hakekat cinta sejati? Bukankah kesejatian itu terukur dari
keabadian? ,,,,
dengan begitu ketika cinta tak
mampu menjadi abadi maka tidak akan mungkin ada cinta sejati…karena seyogianya
kesejatian itu tak akan lekang termakan waktu….sementara cinta bisa pergi,
manakala dia harus pergi….. bahkan terkadang tak meninggalkan bekas sedikitpun…
…..bilapun cinta tak mampu
menjadi abadi, mengapa misalnya kita kadangkala sampai harus jatuh bangun
memperjuangkannya… toh suatu saat akan pergi juga….dan mungkin saja kepergiannya
tak berjejak sedikitpun ketika kehidupan berakhir….
atau jika bertemu dengan cinta
yang lain….pula cinta yang baru…pun seterusnya ketika cinta masih bisa menjadi
candu bagi orang-orang yang memburunya…
dan jika alasannya dengan terus
memelihara rasa cinta, sama halnya
dengan memelihara kehidupan sebagai fitrahnya kita sebagai manusia…..
jawabannya adalah sungguh keliru… karena kehidupan bisa saja ada, tanpa
hadirnya cinta disana…sebab dengan mengandalkan syahwat pun rasanya kehidupan
bisa akan terus berlanjut….
dengan demikian cinta semestinya
bukan menjadi musabab, kenapa kita ada, untuk apa kita hidup, dan mengapa kita
harus melanjutkan hidup kita…. sebab cinta baru hadir setelah terlebih dahulu
kita ada….. harusnya hidup pun bukan untuk cinta… dan sepertinya sangat naif bila
kita harus mati karena cinta….
mungkin akan lebih baik bagi kita
apabila menikmati cinta seadanya dalam tataran yang terukur…. dan rasanya kita
tidak perlu sampai harus sedu sedan
memperjuangkannya…. ini bukan persoalan bahwa kita tidak memperjuangkan sesuatu
yang seharusnya kita dapatkan…. bila itu alasannya… sungguh kita telah menjadi
egois bagi diri kita sendiri...juga kepada orang lain, karena bisa saja dia
bukan takdir kita…. dan mungkin pula kita seharusnya menjadi takdir untuk orang
lain….Bukankah itu sudah menjadi kehendakNya?....
satu lagi alasannya, kenapa kita tidak harus memperjuangkan cinta hingga
harus terkapar…karena sesungguhnya dia fana……….dan tak bisa menjadi abadi….
Memilih adalah sebuah kondisi
dimana kita harus membuat keputusan dalam hidup untuk menjalani sesuatu dan
menafikan sesuatu yang lain untuk sebuah tujuan yang mestinya dapat
dipertanggung- jawabkan. Bentuk pertanggung-jawaban itu bisa kepada Tuhan Sang
Pencipta, masyarakat ataupun pada sesuatu yang pada akhirnya tidak kita pilih…
Mengapa misalnya kita juga harus
mempertanggung-jawabkan keputusan kita pada yang tak terpilih?
Jawabannya adalah agar yang tak
terpilih merasa bahwa dirinya juga menjadi subjek diantara beberapa pilihan,
dan bukan semata objek yang menjadi tidak penting untuk dipertimbangkan.. pada
kondisi ini dia akan merasa lebih ikhlas menerima keadaan ke-tak terpilihannya
sebagai bagian dari takdir dan bukan karena alasan bahwa dia tidak layak untuk
dipilih…
Karena jujur menjadi tak terpilih
adalah berat, ketika dia berpikir bahwa dia layak untuk dipilih..
Sulit memang ketika kita dihadapkan
pada berbagai pilihan di dalam hidup, meski misalnya kita telah dapat menghitung
untung-rugi, plus-minus, pula ‘akibat’ dari memilihnya kita terhadap sesuatu(seseorang)
yang dengan sendirinya mengorbankan seseorang yang lain…
Kenapa yang tak terpilih juga berhak
untuk ikut diperhatikan, pada penekanan kata ‘akibat’? Alasannya bahwa yang tak terpilih adalah yang
paling dirugikan, sementara kita dan pilihan kita adalah pihak yang paling
diuntungkan, atau setidaknya berada pada zona aman..
Dalam posisi seperti ini idealnya
kita tidak hanya memikirkan diri sendiri, pada saat kita telah sepenuhnya
istiqomah bahwa pilihan kita adalah yang paling benar, tetapi juga dapat
memahami kondisi dan perasaan seseorang yang tidak kita pilih.. Bukankah
ridhaNya adalah tergantung ridhanya orang lain pada kita?
Pun demikian dengan cinta, walau
semestinya cinta tidak dapat ditempatkan sebagai sebuah pilihan..
Mengapa cinta tidak dapat menjadi
pilihan? Penyebabnya adalah bahwa cinta itu kodrati, dia akan ada meski kita
tidak memilih, dan cinta tidak mengharuskan kita untuk memilih..dia akan terus
ada hingga kematian merenggut kita..
Sementara persoalan misalnya kita
mengorbankan seseorang yang kita cintai demi cinta kita yang mungkin lebih
besar pada orang yang akhirnya kita pilih, dengan alasan bahwa cinta harus
memilih.. sepertinya hanya mencoba memaksakan sebuah pembenaran yang lebih
berpihak kepada kita… dan tak pernah kita berpikir bagaimana kondisi dan
perasaan seseorang yang tidak kita pilih..
Jika demikian adanya.. sungguh
tragis apa yang di alami oleh ‘yang tak terpilih’…. Mungkin saja perasaannya
terkoyak, bukan hanya karena dia tidak terpilih, tapi juga haknya mencintai dan
dicintai digerus oleh pembenaran bahwa cinta harus memilih… padahal mungkin dia
tidak menuntut untuk dipilih… juga tidak meminta untuk diprioritaskan… dia
hanya menginginkan untuk dicintai dan jangan mencegahnya untuk mencintai…
karena sekali lagi bahwa cinta itu kodrati…
Akan jauh lebih adil mungkin
apabila kita juga memikirkan perasaannya yang tak terpilih, bukan melalui
pendekatan logikal, tapi lebih kepada pendekatan emosioanal.. karena yang tak
terpilih akan cenderung men-dramakan perasannya ketimbang berusaha rasional dan
realistis.. sebab dia akan sulit menerima apapun sintesa pembenaran dari
ketidak-terpilihannya..
Memikirkan perasaannya adalah
penting, karena sadar atau tidak kita berandil besar atas kesakitan yang
dialaminya…. Kecuali mungkin… kita tidak pernah mencintainya, dan hanya
menempatkannya sebagai bagian tak penting dari episode perjalanan hidup kita..
Cinta menjadi subjek disini,
bukan alat ataupun objek.
Sebagai layaknya subjek, cinta berfungsi
mengatur… mengelola jalinan emosi dan perasaan dalam diri manusia yang
membentuk satu kesatuan harapan yang kemudian setelahnya akan di-eksekusi oleh
otak.
Pun cinta dapat bertindak sebagai
pelaku; pelaku tulus, pelaku berbagi, pelaku mengerti, pelaku memahami, pelaku
berkorban, pelaku tak bersyarat, serta pelaku ikhlas.
Pada konsep ‘pelaku’ beserta
bagian-bagian yang tercakup didalamnya, terlihat jelas bahwa cinta itu ‘memberi’
dan bukan diberi.
Diawali dengan pelaku tulus dan
berakhir sebagai pelaku ikhlas, ‘cinta’ jelas mengambil posisi ‘tak berpamrih’.
Bahkan semua unsur-unsur yang
terkait di dalamnya memiliki makna yang sama, hanya saja tingkatannya berbeda,
bisa berdasarkaan ‘waktu’ juga ‘kesungguhan’.
Mengapa kategorisasi ‘pelaku’
tersebut mesti diurut? Jawabannya karena kualitas cinta terukur disitu.
Masing-masing kelas punya ‘nilai’ tersendiri… ada yang hanya pada tataran tulus
atau berbagi saja, ada yang mengerti dan memahami, pula ada yang berkorban dan
tak bersyarat, bahkan ada yang dapat mencapai kategori ‘ikhlas’.
Jadi,misalnya ada yang mengklaim bahwa dia
‘mencintai’ sementara pemaknaan ‘cinta’ yang dibangun olehnya bahkan tidak
berdasar atas satu atau beberapa unsur ‘terlaku’ di atas, itu namanya bukan
cinta.
Karena sekali lagi cinta itu
memberi, tidak mengklaim ‘memberi’ tapi benar-benar memberi… cinta itu tidak
mengenal dititipkan, dipinjamkan apalagi digadaikan, tapi diberi… cinta itu gift dari Allah untuk kita, dengan
demikian mestinya cinta juga bisa menjadi gift
untuk orang lain..