Pages

Thursday, January 19, 2012

curhat tentang menakar cinta


hari ini 20 menit yang lalu, kisah cinta saya berakhir dengan tanpa adanya kata putus, dia hanya mengatakan bahwa “semoga kamu mendapatkan yang terbaik”. Bagi saya itu sudah merupakan sebuah penegasan bahwa dia menginginkan berakhirnya hubungan ini. Sebenarnya kata “putus” memang bukanlah sebuah kata sakti yang mengindikasikan bahwa telah berakhirnya hubungan cinta yang pernah dibangun oleh dua orang yang pernah saling mencintai. Kenapa saya mengatakan “pernah” karena bisa saja ketika seseorang mengujarkan pernyataan seperti yang ter-italic di atas, sudah tidak tersisa sedikit cinta lagi dihatinya. Bukankah cinta harus diperjuangkan? Seperti apapun misalnya kondisinya. Tapi sudahlah disini saya tidak akan berbagi soal apakah dia masih mencintai saya atau tidak. Sesungguhnya yang ingin saya tekankan disini adalah kata “putus” tadi. Kata-kata itu terasa begitu menyesakkan dada, diucapkan atau tidak kata itu terasa seperti menjadi bara bagi seseorang yang masih mencintai kekasihnya sepenuh hati seperti yang saya rasakan saat ini. Cinta yang begitu susah payah saya bangun selama berbulan-bulan akhirnya berakhir hanya dengan sebuah alasan yang tidak cukup rasional untuk ukuran peradaban hari ini. Kadar dari cinta itulah yang menjadi persoalannya…
            Elegi ini berawal dari ketakutan-ketakutan kekasih saya(dia akan tetap menjadi kekasih di dalam hati saya) mengenai kadar cinta yang saya miliki terhadapnya. Seringkali dia mempertanyakan posisinya dihati saya, pun seberapa besar saya mencintainya. Alasan ini coba dihadirkan olehnya demi menggugat kapasitas cinta yang saya miliki. Dia merasa bahwa selama ini cinta yang saya berikan tidaklah cukup mewakilkan arti cinta yang sebenarnya yang ada di dalam imajinasinya. Ketika kita akan selalu ada untuk orang yang kita cintai dan ketika berkorban menjadi satu-satunya parameter untuk meretas takaran cinta kita….
Tentunya dalam hal ini dia tidak sepenuhnya salah apabila memang kondisinya memungkinkan, walaupun saya pikir ini tidak seluruhnya logis ketika berkorban menjadi acuan di dalam menguraikan arti cinta yang sebenarnya. Tetapi ini situasinya berbeda, kita menjalin cinta jarak jauh. Bagaimana mungkin saya akan selalu ada untuknya sementara kita dipisahkan oleh jarak yang jauhnya ribuan kilometer. Pastinya jika ingin sepenuhnya adil, pula saya bisa memprotes kepadanya mengapa bukan dia yang harus selalu ada untuk saya. Bukankah konsep bekorban tidak hanya menjadi milik salah satu pihak? Tetapi tidak, disini saya bukan sedang mencoba mencari pembenaran-pembenaran, dan saya pikir itu juga merupakan wujud dari berkorbannya saya, saat tidak pernah mempertanyakan hal ini kepadanya.
            Ketika saya menulis curhat ini, pikiran saya dijejali oleh berbagai pertanyaan-pertanyaan yang terasa tidak mampu saya pecahkan sendiri. Apa arti dari cinta yang sebenarnya (dan bukan definisi cinta dari pujangga amatir dan karbitan)?, Bagaimanakah menakar cinta? dan Seperti apa sesungguhnya berkorban untuk cinta?. Tiga pertanyaan ini cukup mengusik saya untuk lebih bisa memahami hakikat dari cinta yang sesungguhnya, karena saya merasa bahwa selama ini saya telah melakukan yang terbaik untuk cinta dan sekiranya itu tidak cukup bagi sebahagian orang, sekali lagi saya bertanya Alasannya apa? Serta, Adakah sesuatu yang belum saya lakukan untuk cinta?
            Saya sangat mencintainya, saya tau pasti itu, saya mencintainya dengan cara saya sendiri. Saya tidak perlu mengutip karya sastra hanya untuk sekedar mengetahui bagaimana seharusnya mencintai seseorang, juga saya tidak butuh mencontohi formula orang-orang sekitar tentang bagaimana cara mencintai mereka. Saya memiliki cara sendiri untuk mencintai seseorang.  Tidakkah setiap orang berbeda? Kenapa dia tidak juga bisa mengerti soal itu? mengapa dia selalu menuntut lebih, sementara yang dapat saya berikan hanya itu…
Wah… pertanyaan lagi.. Apakah memang cinta selalu menghadirkan pertanyaan-pertanyaan? Bukankah “cinta” itu sendiri telah menjadi jawaban atas pertanyaan, mengapa kita harus mencintai yang jawabannya karena ada “cinta” di hati kita, yang mesti kita bagi untuk orang lain. Sedikit hipotesa saya tentang hal ini bahwa cinta yang dimiliki oleh setiap orang berupa penggalan. Penggalan ini berusaha menyempurnakan bentuknya dengan mencari penggalan lainnya yang paling tepat dan link untuknya agar dapat berbentuk utuh sebagaimana mestinya..

Hufft…. kadang capek mikir euy,,,,tapi sudahlah ini memang skenario hidup yg harus saya jalani…saya ga harus protes, kalaupun bisa protes…. Mau protes kemana? Kepada sutradara alam semesta? Rasanya ga mungkin, itu berarti saya sedang berusaha menggugat keterbatasan saya sebagai manusia yang dhaif…

Satu hal yang saya tahu pasti, bahwa saya harus melanjutkan hidup saya dengan skenario yang saya sendiri tidak tahu bagaimana alurnya nanti…tak akan pernah ada yang tahu apa yang akan terjadi besok, bahkan sedetik setelah ini…. Besok akan selamanya menjadi ghoib….satu harapan saya bahwa esok akan berpihak pada saya…amien

No comments:

Post a Comment