hari ini 20 menit yang lalu,
kisah cinta saya berakhir dengan tanpa adanya kata putus, dia hanya mengatakan
bahwa “semoga kamu mendapatkan yang
terbaik”. Bagi saya itu sudah merupakan sebuah penegasan bahwa dia
menginginkan berakhirnya hubungan ini. Sebenarnya kata “putus” memang bukanlah
sebuah kata sakti yang mengindikasikan bahwa telah berakhirnya hubungan cinta
yang pernah dibangun oleh dua orang yang pernah saling mencintai. Kenapa saya
mengatakan “pernah” karena bisa saja ketika seseorang mengujarkan pernyataan
seperti yang ter-italic di atas, sudah tidak tersisa sedikit cinta lagi
dihatinya. Bukankah cinta harus diperjuangkan? Seperti apapun misalnya
kondisinya. Tapi sudahlah disini saya tidak akan berbagi soal apakah dia masih
mencintai saya atau tidak. Sesungguhnya yang ingin saya tekankan disini adalah
kata “putus” tadi. Kata-kata itu terasa begitu menyesakkan dada, diucapkan atau
tidak kata itu terasa seperti menjadi bara bagi seseorang yang masih mencintai
kekasihnya sepenuh hati seperti yang saya rasakan saat ini. Cinta yang begitu
susah payah saya bangun selama berbulan-bulan akhirnya berakhir hanya dengan
sebuah alasan yang tidak cukup rasional untuk ukuran peradaban hari ini. Kadar
dari cinta itulah yang menjadi persoalannya…
Elegi
ini berawal dari ketakutan-ketakutan kekasih saya(dia akan tetap menjadi
kekasih di dalam hati saya) mengenai kadar cinta yang saya miliki terhadapnya.
Seringkali dia mempertanyakan posisinya dihati saya, pun seberapa besar saya
mencintainya. Alasan ini coba dihadirkan olehnya demi menggugat kapasitas cinta
yang saya miliki. Dia merasa bahwa selama ini cinta yang saya berikan tidaklah
cukup mewakilkan arti cinta yang sebenarnya yang ada di dalam imajinasinya.
Ketika kita akan selalu ada untuk orang yang kita cintai dan ketika berkorban
menjadi satu-satunya parameter untuk meretas takaran cinta kita….
Tentunya dalam hal ini dia tidak
sepenuhnya salah apabila memang kondisinya memungkinkan, walaupun saya pikir
ini tidak seluruhnya logis ketika berkorban menjadi acuan di dalam menguraikan
arti cinta yang sebenarnya. Tetapi ini situasinya berbeda, kita menjalin cinta
jarak jauh. Bagaimana mungkin saya akan selalu ada untuknya sementara kita
dipisahkan oleh jarak yang jauhnya ribuan kilometer. Pastinya jika ingin
sepenuhnya adil, pula saya bisa memprotes kepadanya mengapa bukan dia yang
harus selalu ada untuk saya. Bukankah konsep bekorban tidak hanya menjadi milik
salah satu pihak? Tetapi tidak, disini saya bukan sedang mencoba mencari
pembenaran-pembenaran, dan saya pikir itu juga merupakan wujud dari
berkorbannya saya, saat tidak pernah mempertanyakan hal ini kepadanya.
Ketika
saya menulis curhat ini, pikiran saya dijejali oleh berbagai
pertanyaan-pertanyaan yang terasa tidak mampu saya pecahkan sendiri. Apa arti
dari cinta yang sebenarnya (dan bukan definisi cinta dari pujangga amatir dan
karbitan)?, Bagaimanakah menakar cinta? dan Seperti apa sesungguhnya berkorban
untuk cinta?. Tiga pertanyaan ini cukup mengusik saya untuk lebih bisa memahami
hakikat dari cinta yang sesungguhnya, karena saya merasa bahwa selama ini saya
telah melakukan yang terbaik untuk cinta dan sekiranya itu tidak cukup bagi
sebahagian orang, sekali lagi saya bertanya Alasannya apa? Serta, Adakah
sesuatu yang belum saya lakukan untuk cinta?
Saya sangat mencintainya, saya tau pasti
itu, saya mencintainya dengan cara saya sendiri. Saya tidak perlu mengutip
karya sastra hanya untuk sekedar mengetahui bagaimana seharusnya mencintai
seseorang, juga saya tidak butuh mencontohi formula orang-orang sekitar tentang
bagaimana cara mencintai mereka. Saya memiliki cara sendiri untuk mencintai
seseorang. Tidakkah setiap orang
berbeda? Kenapa dia tidak juga bisa mengerti soal itu? mengapa dia selalu
menuntut lebih, sementara yang dapat saya berikan hanya itu…
Wah… pertanyaan lagi.. Apakah memang cinta selalu menghadirkan pertanyaan-pertanyaan?
Bukankah “cinta” itu sendiri telah menjadi jawaban atas pertanyaan, mengapa
kita harus mencintai yang jawabannya karena ada “cinta” di hati kita, yang
mesti kita bagi untuk orang lain. Sedikit hipotesa saya tentang hal ini bahwa
cinta yang dimiliki oleh setiap orang berupa penggalan. Penggalan ini berusaha
menyempurnakan bentuknya dengan mencari penggalan lainnya yang paling tepat dan
link untuknya agar dapat berbentuk utuh sebagaimana mestinya..
Hufft…. kadang capek mikir euy,,,,tapi sudahlah ini memang skenario hidup
yg harus saya jalani…saya ga harus protes, kalaupun bisa protes…. Mau protes
kemana? Kepada sutradara alam semesta? Rasanya ga mungkin, itu berarti saya
sedang berusaha menggugat keterbatasan saya sebagai manusia yang dhaif…
Satu hal yang saya tahu pasti, bahwa saya harus melanjutkan hidup saya
dengan skenario yang saya sendiri tidak tahu bagaimana alurnya nanti…tak akan
pernah ada yang tahu apa yang akan terjadi besok, bahkan sedetik setelah ini….
Besok akan selamanya menjadi ghoib….satu harapan saya bahwa esok akan berpihak
pada saya…amien
No comments:
Post a Comment